Epistemologi Dalam Kajian Filsafat Ilmu
Epistemologi Dalam Kajian Filsafat Ilmu - Salah satu bagian yang paling penting dari ilmu pengetahuan adalah
kajian epistimologi mengenai keberadaan suatu ilmu. Kajian mengenai
epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang
pengetahuan. Dalam pembahasan filsafat ilmu,
epistemologi dikenal sebagai sub sistem dari filsafat. Epistemologi
adalah teori pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara
mendapatkan pengetahuan dari objek yang ingin dipikirkan.
Keterkaitan antara ontologi, epistemologi, dan aksiologi—seperti juga lazimnya keterkaitan masing-masing sub sistem dalam suatu sistem--membuktikan betapa sulit untuk menyatakan yang satu lebih penting dari yang lain, sebab ketiga-tiganya memiliki fungsi sendiri-sendiri yang berurutan dalam mekanisme pemikiran. Ketika kita membicarakan epistemologi, berarti kita sedang menekankan bahasan tentang upaya, cara, atau langkah-langkah untuk mendapatkan pengetahuan. Dari sini setidaknya didapatkan perbedaan yang cukup signifikan bahwa aktivitas berpikir dalam lingkup epistemologi adalah aktivitas yang paling mampu mengembangkan kreativitas keilmuan dibanding ontologi dan aksiologi.
Pengertian Epistemologi
Ada beberapa pengertian mengenai epistemologi yang diungkapkan para ahli
yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk memahami apa sebenarnya
epistemologi itu. Secara sederhana epistemologi juga disebut teori
pengetahuan (theory of knowledge). Pengetahuan dalam arti sebuah usaha
yang dilakukan secara sadar baik dalam proses atau penarikan kesimpulan
mengenai kebenaran suatu hal. Kebenaran dalam kajian ini lebih dari
sebuah eksistensi mengingat banyakanya kemungkinan pendapat yang muncul
mengenai nilai dari suatu objek dalam filsafat.
Secara etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme
berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Epistemologi dapat
didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau
sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan. Dalam
kajian Epistemologi, kajian mengenai kebenaran haruslah haruslah
objektif sehingga siapapun akan mendapatkan paham yang sama pada saat
memandang sebuah masalah dan solusi dari masalah tersebut. Kajian
mengenai relativistik mungkin saja masuk dalam ranah ini namun dalam
pandangan ilmu pengetahuan, seluruh pengamat adalah benar hanya saja
melihat dari sisi yang berbeda, oleh karean itu ketika sudut pandang
dari setiap pengamat disamakan akan muncul sisi yang sama.
Pengertian lain, mengenai epistemologi menyatakan bahwa
epistimologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana mendapatkan
pengetahuan atau lebih menitikberatkan pada sebuah proses penecarian
ilmu: apakah sumber-sumber pengetahuan ? apakah hakikat, jangkauan dan
ruang lingkup pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin
untuk ditangkap manusia (William S.Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian,
1965, dalam Jujun S.Suriasumantri, 2005).
Menurut Musa Asy’arie, epistemologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha
yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang
terdapat pada suatu obyek kajian ilmu. Sedangkan, P.Hardono Hadi
menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari
dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan,
pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Sedangkan D.W Hamlyn
mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan
dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan
pengendaian-pengendaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya
sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
Selanjutnya, pengertian epistemologi yang lebih jelas diungkapkan
Dagobert D.Runes. Dia menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang
filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas
pengetahuan. Sementara itu, Azyumardi Azra menambahkan, bahwa
epistemologi sebagai “ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian,
struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan.
Ruang Lingkup Epistemologi
M.Arifin merinci ruang lingkup epistemologi, meliputi hakikat, sumber
dan validitas pengetahuan. Mudlor Achmad merinci menjadi enam aspek,
yaitu hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan.
Bahkan, A.M Saefuddin menyebutkan, bahwa epistemologi mencakup
pertanyaan yang harus dijawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa
sumbernya, apa hakikat-nya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan
benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa
yang dapat kita ketahui, dan sampai dimanakah batasannya. Semua
pertanyaan itu dapat diringkas menjadi dua masalah pokok; masalah sumber
ilmu dan masalah benarnya ilmu.
M. Amin Abdullah menilai, bahwa seringkali kajian epistemologi lebih banyak terbatas pada dataran konsepsi asal-usul atau sumber ilmu pengetahuan secara konseptual-filosofis. Sedangkan Paul Suparno menilai epistemologi banyak membicarakan mengenai apa yang membentuk pengetahuan ilmiah. Sementara itu, aspek-aspek lainnya justru diabaikan dalam pembahasan epistemologi, atau setidak-tidaknya kurang mendapat perhatian yang layak.
Kecenderungan sepihak ini menimbulkan kesan seolah-olah cakupan
pembahasan epistemologi itu hanya terbatas pada sumber dan metode
pengetahuan, bahkan epistemologi sering hanya diidentikkan dengan metode pengetahuan. Terlebih lagi ketika dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi
secara sistemik, seseorang cenderung menyederhanakan pemahaman,
sehingga memaknai epistemologi sebagai metode pemikiran, ontologi
sebagai objek pemikiran, sedangkan aksiologi sebagai hasil pemikiran,
sehingga senantiasa berkaitan dengan nilai, baik yang bercorak positif
maupun negatif. Padahal sebenarnya metode pengetahuan itu hanya salah
satu bagian dari cakupan wilayah epistemologi.
Objek Dan Tujuan Epistemologi
Dalam filsafat terdapat objek material dan objek formal. Objek material
adalah sarwa-yang-ada, yang secara garis besar meliputi hakikat Tuhan,
hakikat alam dan hakikat manusia. Sedangkan objek formal ialah usaha
mencari keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya, sampai ke akarnya)
tentang objek material filsafat (sarwa-yang-ada).
Objek epistemologi ini menurut Jujun S.Suriasumatri berupa “segenap
proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.”
Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran teori
pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan,
sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui
dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa
terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak
terarah sama sekali.
Tujuan epistemologi menurut Jacques Martain mengatakan: “Tujuan
epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah
saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan
saya dapat tahu”. Hal ini menunjukkan, bahwa epistemologi bukan untuk
memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari, akan
tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah
lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh
pengetahuan.
Landasan Epistemologi
Kholil Yasin menyebut pengetahuan dengan sebutan pengetahuan biasa
(ordinary knowledge), sedangkan ilmu pengetahuan dengan istilah
pengetahuan ilmiah (scientific knowledge). Hal ini sebenarnya hanya
sebutan lain. Disamping istilah pengetahuan dan pengetahuan biasa, juga
bisa disebut pengetahuan sehari-hari, atau pengalaman sehari-hari. Pada
bagian lain, disamping disebut ilmu pengetahuan dan pengetahuan ilmiah,
juga sering disebut ilmu dan sains. Sebutan-sebutan tersebut hanyalah
pengayaan istilah, sedangkan substansisnya relatif sama, kendatipun ada
juga yang menajamkan perbedaan, misalnya antar sains dengan ilmu melalui
pelacakan akar sejarah dari dua kata tersebut, sumber-sumbernya,
batas-batasanya, dan sebagainya.
Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menuju ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan yang bergantung pada metode ilmiah, karena metode ilmiah menjadi standar untuk menilai dan mengukur kelayakan suatu ilmu pengetahuan. Sesuatu fenomena pengetahuan logis, tetapi tidak empiris, juga tidak termasuk dalam ilmu pengetahuan, melaikan termasuk wilayah filsafat. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif.
Hubungan Epistemologi, Metode dan Metodologi
Lebih jauh lagi Peter R.Senn mengemukakan, “metode merupakan suatu
prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah
yang sistematis”. Sedangkan metodologi merupakan suatu pengkajian dalam
mempelajari peraturan dalam metode tersebut. Secara sederhana dapat
dikatakan, bahwa metodologi adalah ilmu tentang metode atau ilmu yang
mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui sesuatu. Jika metode
merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu, maka metodologilah yang
mengkerangkai secara konseptual prosedur tersebut. Implikasinya, dalam
metodologi dapat ditemukan upaya membahas permasalahan-permasalahan yang
berkaitan dengan metode.
Metodologi membahas konsep teoritik dari berbagai metode, kelemahan dan
kelebihannya dalam karya ilmiah dilanjutkan dengan pemilihan metode yang
digunakan, sedangkan metode penelitian mengemukakan secara teknis
metode-metode yang digunakan dalam penelitian. Penggunaan metode
penelitian tanpa memahami metode logisnya mengakibatkan seseorang buta
terhadap filsafat ilmu yang dianutnya. Banyak peneliti pemula yang tidak
bisa membedakan paradigma penelitian ketika dia mengadakan penelitian
kuantitatif dan kualitatif. Padahal mestinya dia harus benar-benar
memahami, bahwa penelitian kuantitatif menggunakan paradigma
positivisme, sehingga ditentukan oleh sebab akibat (mengikuti paham
determinsime, sesuatu yang ditentukan oleh yang lain), sedangkan
penelitian kualitatif menggunakan paradigma naturalisme (fenomenologis).
Dengan demikian, metodologi juga menyentuh bahasan tantang aspek
filosofis yang menjadi pijakan penerapan suatu metode. Aspek filosofis
yang menjadi pijakan metode tersebut terdapat dalam wilayah
epistemologi.
Oleh karena itu, dapat dijelaskan urutan-urutan secara
struktural-teoritis antara epistemologi, metodologi dan metode sebagai
berikut: Dari epistemologi, dilanjutkan dengan merinci pada metodologi,
yang biasanya terfokus pada metode atau tehnik. Epistemologi itu sendiri
adalah sub sistem dari filsafat, maka metode sebenarnya tidak bisa
dilepaskan dari filsafat. Filsafat mencakup bahasan epistemologi,
epistemologi mencakup bahasan metodologis, dan dari metodologi itulah
akhirnya diperoleh metode. Jadi, metode merupakan perwujudan dari
metodologi, sedangkan metodologi merupakan salah satu aspek yang
tercakup dalam epistemologi. Adapun epistemologi merupakan bagian dari
filsafat.
Hakikat Epsitemologi
Epistemologi berusaha memberi definisi ilmu pengetahuan, membedakan
cabang-cabangnya yang pokok, mengidentifikasikan sumber-sumbernya dan
menetapkan batas-batasnya. “Apa yang bisa kita ketahui dan bagaimana
kita mengetahui” adalah masalah-masalah sentral epistemologi, tetapi
masalah-masalah ini bukanlah semata-mata masalah-masalah filsafat.
Pandangan yang lebih ekstrim lagi menurut Kelompok Wina, bidang
epistemologi bukanlah lapangan filsafat, melainkan termasuk dalam kajian
psikologi. Sebab epistemologi itu berkenaan dengan pekerjaan pikiran
manusia, the workings of human mind. Tampaknya Kelompok Wina melihat
sepintas terhadap cara kerja ilmiah dalam epistemologi yang memang
berkaitan dengan pekerjaan pikiran manusia. Cara pandang demikian akan
berimplikasi secara luas dalam menghilangkan spesifikasi-spesifikasi
keilmuan. Tidak ada satu pun aspek filsafat yang tidak berhubungan
dengan pekerjaan pikiran manusia, karena filsafat mengedepankan upaya
pendayagunaan pikiran. Kemudian jika diingat, bahwa filsafat adalah
landasan dalam menumbuhkan disiplin ilmu, maka seluruh disiplin ilmu
selalu berhubungan dengan pekerjaan pikiran manusia, terutama pada saat
proses aplikasi metode deduktif yang penuh penjelasan dari hasil
pemikiran yang dapat diterima akal sehat. Ini berarti tidak ada disiplin
ilmu lain, kecuali psikologi, padahal realitasnya banyak sekali.
Oleh karena itu, epistemologi lebih berkaitan dengan filsafat, walaupun
objeknya tidak merupakan ilmu yang empirik, justru karena epistemologi
menjadi ilmu dan filsafat sebagai objek penyelidikannya. Dalam
epistemologi terdapat upaya-upaya untuk mendapatkan pengetahuan dan
mengembangkannya. Aktivitas-aktivitas ini ditempuh melalui
perenungan-perenungan secara filosofis dan analitis.
Perbedaaan padangan tentang eksistensi epistemologi ini agaknya bisa
dijadikan pertimbangan untuk membenarkan Stanley M. Honer dan Thomas
C.Hunt yang menilai, epistemologi keilmuan adalah rumit dan penuh
kontroversi. Sejak semula, epistemologi merupakan salah satu bagian dari
filsafat sistematik yang paling sulit, sebab epistemologi menjangkau
permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika
sendiri, sehingga tidak ada sesuatu pun yang boleh disingkirkan darinya.
Selain itu, pengetahaun merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang
dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari.
Pengetahuan biasanya diandaikan begitu saja, maka minat untuk
membicarakan dasar-dasar pertanggungjawaban terhadap pengetahuan
dirasakan sebagai upaya untuk melebihi takaran minat kita.
Epistemologi atau teori mengenai ilmu pengetahuan itu adalah inti
sentral setiap pandangan dunia. Ia merupakan parameter yang bisa
memetakan, apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin menurut
bidang-bidangnya; apa yang mungkin diketahui dan harus diketahui; apa
yang mungkin diketahui tetapi lebih baik tidak usah diketahui; dan apa
yang sama sekali tidak mungkin diketahui. Epistemologi dengan demikian
bisa dijadikan sebagai penyaring atau filter terhadap objek-objek
pengetahuan. Tidak semua objek mesti dijelajahi oleh pengetahuan
manusia. Ada objek-objek tertentu yang manfaatnya kecil dan kerugian
yang ditimbulkan lebih besar, sehingga tidak perlu diketahui, meskipun
memungkinkan untuk diketahui. Ada juga objek yang benar-benar merupakan
misteri, sehingga tidak mungkin bisa diketahui.
Epistemologi ini juga bisa menentukan cara dan arah berpikir manusia.
Seseorang yang senantiasa condong menjelaskan sesuatu dengan bertolak
dari teori yang bersifat umum menuju detail-detailnya, berarti dia
menggunakan pendekatan deduktif. Sebaliknya, ada yang cenderung bertolak
dari gejala-gejala yang sama, baruk ditarik kesimpulan secara umum,
berarti dia menggunakan pendekatan induktif. Adakalanya seseorang selalu
mengarahkan pemikirannya ke masa depan yang masih jauh, ada yang hanya
berpikir berdasarkan pertimbangan jangka pendek sekarang dan ada pula
seseorang yang berpikir dengan kencenderungan melihat ke belakang, yaitu
masa lampau yang telah dilalui. Pola-pola berpikir ini akan
berimplikasi terhadap corak sikap seseorang. Kita terkadang menemukan
seseorang beraktivitas dengan serba strategis, sebab jangkauan
berpikirnya adalah masa depan. Tetapi terkadang kita jumpai seseorang
dalam melakukan sesuatu sesungguhnya sia-sia, karena jangkauan
berpikirnya yang amat pendek, jika dilihat dari kepentingan jangka
panjang, maka tindakannya itu justru merugikan.
Pada bagian lain dikatakan, bahwa epistemologi keilmuan pada hakikatnya
merupakan gabungan antara berpikir secara rasional dan berpikir secara
empiris. Kedua cara berpikir tersebut digabungan dalam mempelajari
gejala alam untuk menemukan kebenaran, sebab secara epistemologi ilmu
memanfaatkan dua kemampuan manusia dalam mempelajari alam, yakni pikiran
dan indera. Oleh sebab itu, epistemologi adalah usaha untuk menafsir
dan membuktikan keyakinan bahwa kita mengetahuan kenyataan yang lain
dari diri sendiri. Usaha menafsirkan adalah aplikasi berpikir rasional,
sedangkan usaha untuk membuktikan adalah aplikasi berpikir empiris. Hal
ini juga bisa dikatakan, bahwa usaha menafsirkan berkaitan dengan
deduksi, sedangkan usaha membuktikan berkaitan dengan induksi. Gabungan
kedua macaram cara berpikir tersebut disebut metode ilmiah.
Jika metode ilmiah
sebagai hakikat epistemologi, maka menimbulkan pemahaman, bahwa di satu
sisi terjadi kerancuan antara hakikat dan landasan dari epistemologi
yang sama-sama berupa metode ilmiah (gabungan rasionalisme dengan
empirisme, atau deduktif dengan induktif), dan di sisi lain berarti
hakikat epistemologi itu bertumpu pada landasannya, karena lebih
mencerminkan esensi dari epistemologi. Dua macam pemahaman ini merupakan
sinyalemen bahwa epistemologi itu memang rumit sekali, sehingga selalu
membutuhkan kajian-kajian yang dilakukan secara berkesinambungan dan
serius.
Pengaruh Epistemologi
Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu
peradaban, sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologi
mengatur semua aspek studi manusia, dari filsafat dan ilmu murni sampai
ilmu sosial. Epistemologi dari masyarakatlah yang memberikan kesatuan
dan koherensi pada tubuh, ilmu-ilmu mereka itu—suatu kesatuan yang
merupakan hasil pengamatan kritis dari ilmu-ilmu—dipandang dari
keyakinan, kepercayaan dan sistem nilai mereka. Epistemologilah yang
menentukan kemajuan sains dan teknologi. Wujud sains dan teknologi yang
maju disuatu negara, karena didukung oleh penguasaan dan bahkan
pengembangan epistemologi. Tidak ada bangsa yang pandai merekayasa
fenomena alam, sehingga kemajuan sains dan teknologi tanpa didukung oleh
kemajuan epistemologi.
Epistemologi menjadi modal dasar dan alat yang strategis dalam merekayasa pengembangan-pengembangan alam menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada teknologi. Meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh lagi ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi. Lantas bagaimana dengan kaidah pengemabangan Ilmu Sosial? Keterbatasan penulis dalam mengkaji aspek sosial menjadi penghalang untuk menjelaskan peran Epistemologi dalam kajian ilmu sosial, namun penulis tetap berkeyakinan bahwa pandangan Social Science selalu ada, dimana setiap fenomena individu yang terjadi secara berulang-ulang pada orang banyak merupakan sebuah fenomena sains karena sains berbicara tentang kebenaran yang tidak bisa ditolak hanya berdasarkan pendapat (Rasional) tanpa ada bukti secara empiris.
Epistemologi menjadi modal dasar dan alat yang strategis dalam merekayasa pengembangan-pengembangan alam menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada teknologi. Meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh lagi ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi. Lantas bagaimana dengan kaidah pengemabangan Ilmu Sosial? Keterbatasan penulis dalam mengkaji aspek sosial menjadi penghalang untuk menjelaskan peran Epistemologi dalam kajian ilmu sosial, namun penulis tetap berkeyakinan bahwa pandangan Social Science selalu ada, dimana setiap fenomena individu yang terjadi secara berulang-ulang pada orang banyak merupakan sebuah fenomena sains karena sains berbicara tentang kebenaran yang tidak bisa ditolak hanya berdasarkan pendapat (Rasional) tanpa ada bukti secara empiris.
Epistemologi dalam ilmu filsafat akan terus mendorong manusia untuk
selalu berfikir dan berkreasi menemukan dan menciptakan sesuatu yang
baru. Semua bentuk teknologi yang canggih adalah hasil
pemikiran-pemikiran secara epistemologi, yaitu pemikiran
dan perenungan yang berkisar tentang bagaimana cara mewujudkan sesuatu,
perangkat-perangkat apa yang harus disediakan untuk mewujudkan sesuatu
itu, dan sebagainya sehingga kajian Filsafat Epistemologi akan selalu
eksis pada seluruh cabang ilmu yang ada.
Advertisement
Posting Komentar