Saatnya Membudayakan Rasa Malu dan Bersalah, Hapus Semua Ego! |
BANGSA ini sudah saatnya mempraktikkan budaya bersalah, tak cuma budaya malu. Pada bangsa yang merawat budaya malu, seorang pejabat baru mundur bila ketahuan berbuat salah atau bila didesak mundur. Pada bangsa yang menganut kultur bersalah, pejabat akan mundur apakah ia ketahuan berbuat salah atau tidak, apakah didesak atau tidak.
Di negeri ini, pihak-pihak yang disebut telah gagal menjaga amanat publik justru kerap membela diri dengan bersandar pada argumen legal formal. Dengan dalih itu, mereka ciptakan barikade untuk melindungi jabatan dan kekuasaan.
Namun, dalam kurun kurang dari sebulan terakhir publik di negeri ini diyakinkan bahwa kultur dan rasa bersalah itu masih tumbuh di segelintir pejabat kita. Awal Desember ini, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Sigit Priadi Pramudito mundur dari jabatannya karena merasa gagal memenuhi target penerimaan pajak di 2015.
Sigit mundur ketika di waktu yang bersamaan tekanan publik atas Setya Novanto yang saat itu menjabat Ketua DPR agar mundur karena disebut melakukan pelanggaran etis tak kunjung dituruti. Novanto kukuh mempertahankan kursi Ketua DPR hingga akhirnya baru mundur beberapa menit menjelang vonis sidang Mahkamah Kehormatan Dewan yang mayoritas menganggap Novanto melanggar etik.
Itu artinya Novanto sesungguhnya bersalah. Namun, ia tak meminta maaf secuil pun ketika mundur.
Setelah Sigit Priadi, giliran Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Djoko Sasono yang mundur dari jabatannya pada Sabtu (26/12). Djoko mengundurkan diri karena merasa gagal mengantisipasi sektor transportasi darat menjelang libur Natal dan tahun baru yang berakibat kemacetan amat parah di hampir seluruh jalan utama, terutama jalan tol.
“Dengan adanya kejadian-kejadian kemarin, masyarakat tentu merasa tidak nyaman. Sebagai bentuk tanggung jawab, dengan sebagai Dirjen Perhubungan ini saya menyatakan berhenti sebagai Dirjen Perhubungan Darat. Saya juga memohon maaf kepada masyarakat atas ketidaknyamanan ini,“ kata Djoko dalam konferensi pers yang amat mendadak itu.
Djoko menyatakan mundur sembari tanpa ragu meminta maaf kepada masyarakat. Itu artinya, bukan cuma budaya malu, Djoko telah mempraktikkan kultur lebih tinggi, yakni budaya bersalah. Kendati berbagai kalangan menyebutkan bahwa kemacetan parah di hampir seluruh wilayah, terutama di Pulau Jawa, Madura, dan Bali, tersebut bukan semata tanggung jawab Dirjen Perhubungan Darat, bagi Djoko tanggung jawab terbesar atas kelancaran transportasi darat di Republik ini ada di tangannya.
Kita mengapresiasi langkah Djoko, juga Sigit. Dalam kehidupan bangsa yang para pejabatnya nyaris kehilangan kesadaran bahwa pejabat publik harus memiliki kepekaan etis terhadap suasana kehidupan dan kebatinan rakyat, pengunduran diri itu memantik pro dan kontra.
Akan tetapi, satu hal perlu kita berikan garis tebal ialah langkah tersebut menjadi embrio bagi kian berkembangnya kepekaan etis. Dalam kepekaan etis yang tinggi, keadilan akan dimuliakan di atas aturan aturan formal.
Karena itu, tiap-tiap pejabat mestinya mulai menyadari bahwa bukan hanya karena pelanggaran hukum seorang pejabat harus mundur, melainkan juga karena alasan etis ketidakmampuan menjaga kepercayaan publik. Kegagalan menjaga kepercayaan publik tersebut tidak selalu karena kesengajaan atau ketidakmampuan, tetapi bisa juga karena kelalaian.
Itulah yang terjadi dalam kasus kemacetan sangat parah di libur menjelang Tahun Baru 2016. Kita mengangkat topi tinggi-tinggi untuk mereka yang bertarung sampai titik darah terakhir demi kemaslahatan publik. Namun, kita juga mengapresiasi pejabat yang meletakkan jabatan atas nama tanggung jawab dan mencegah keburukan yang lebih luas.
Advertisement
Posting Komentar